Min Dong^^ [Hello!]

Selasa, 15 Desember 2015

Karya tulis untuk mama



Air Mata Ibu

Aku tak berani menatap Ibu yang terlelap. Andai tadi pagi sewaktu sekolah aku lebih sabar dan tidak selempangan, mungkin saat ini aku sudah tertidur pulas tanpa mencemaskan hal apapun. Ku coba melirik wajah ibu sekali lagi. Damai. Satu kata yang mewakilinya. Apa wajah damainya akan berubah ketika ia tahu bahwa aku melakukan sesuatu yang membuatnya kecewa? Oh Tuhan, apa yang harus ku perbuat?
***
 “Kau harus bertanggung jawab, Jaka. Jangan menjadi pengecut! Perbuatanmu adalah kesalahanmu sendiri. Jangan anggap kau pantas menjadi anak lelaki jika hal seperti ini saja membuatmu takut. Akui kesalahanmu, meminta maaf, dan berjanjilah tidak akan mengulangi kesalahan yang sama untuk kedua kalinya.” Jelas Nina.
Tapi, Apakah ibu akan memaafkanku? Jika ia tahu bahwa anak semata wayangnya berkelahi sampai menyebabkan temannya masuk rumah sakit? Belum lagi biaya rawat inap rumah sakit yang terbilang mahal. Darimana Ibu akan mendapatkan uang sebanyak itu?
“Nina, semua yang kau ucapkan memang benar. Jika aku melakukannya, aku akan bangga pada diriku sendiri, tapi Ibu? Ia akan sangat kecewa. Aku akan menjadi anak durhaka kalau membiarkan ibuku sampai menghutang sana-sini untuk biaya rawat inap si jangkung menyebalkan itu.”
Aku meratapi surat resmi dari kepsek yang diberikan kemarin. Jika saja aku tidak tersulut emosi oleh perkataan Dimas tentangku, ini semua tidak akan terjadi.
“Aku tahu! Jika Ibumu tidak sanggup membayar biaya rawat inap, bagaimana jika kau saja yang membayarnya?”
“Ide bagus. Itulah jalan satu-satunya. Umm, tapi.. Bagaimana caranya agar aku bisa mendapat uang banyak dalam sekejap?”
Nina mendekatkan mulutnya ke telingaku, lalu berbisik. Aku mengangguk mengiyakan.
***
“Kenapa kamu sampai berkelahi , Jaka!? Ibu kan sudah bilang, berkelahi adalah kesalahan yang fatal. Lihat! Surat ini bisa menjadi huruf C sikap kamu di rapor! Apalagi biaya rawat inap Dimas pasti mahal.”
“Maafkan Jaka, Bu. Jaka janji akan bertanggung jawab mengganti biaya rawat inap Dimas. Ibu tidak usah mencemaskan hal itu.”
“Mengganti biaya!? Kamu menggantinya dengan apa!? Kamu masih kecil, Nak! Belum bisa cari uang sendiri.. Lagipula kita ini orang miskin.. Mau makan saja susah, apalagi membayar biaya rawat inap!”
Air mata Ibu mulai bercucuran. Batinku tersayat melihatnya. Sepertinya aku benar-benar anak durhaka. Aku memang anak tak berguna. Ayah telah tiada. Seharusnya aku bisa mengganti penderitaan ibu dengan kebahagiaan, bukan menambahnya.
Tenang, Bu. Pokoknya Jaka akan mengganti biaya itu. Jaka janji.
***

Mulai sekarang, aku akan menjadi buruh di pabrik milik teman ayah Nina. Jam kerjanya tidak mengganggu sekolahku. Dan, gajinya cukup besar, asalkan aku bekerja keras. Aku sendiri yang akan bertanggung jawab atas perbuatanku. Meskipun aku masih kelas 6 SD, tapi aku yakin, aku memiliki jiwa besar seperti orang dewasa.
***
“Nak!? Kamu sudah datang?”
Aku tersenyum ramah kepada Bu Siska, yang mulai sekarang menjadi bosku. “Iya bu, saya bisa mulai bekerja sekarang?”
“Ehm, setelah ibu pikir-pikir lagi, kok aneh ya, kamu itu kan masih kecil, tapi sudah mau bekerja, memangnya kamu kekurangan uang?”
“Tidak kok, Bu. Saya hanya ingin bekerja untuk mempertanggungjawabkan perbuatan saya.”
“Memangnya kamu berbuat apa, to? Sampai mau bekerja jadi buruh?”
Aku mulai menjelaskan alasan aku bekerja. Mulai dari berkelahi, sampai tidak tega kalau Ibu berhutang hanya karena kesalahanku.
“Oh… Jadi begitu.. Ya sudah, sekarang kamu bisa mulai kerja.”
***
Seminggu sudah aku bekerja di pabrik itu. Aku menghitung uang hasil jeripayahku selama ini. Jumlahnya memang masih kurang untuk membayar biaya rawat inap Dimas, tapi sebentar lagi pasti akan cukup.
Tiba-tiba uang yang sedang kupegang dirampas oleh seseorang. Aku terkejut. Kukejar orang yang mengambil uang itu. Gang-gang sempit membuat langkahku terhambat. Namun aku tetap kukuh.
Orang itu mulai nampak. Kupercepat langkah kakiku. Aku harus mengambil uang itu kembali. Harus.
***
“Kau sudah sadar, Nak!?”
Kubuka mataku perlahan. Cahaya lampu menyilaukan mataku. Samar-samar kulihat ada wanita di sampingku. Aku terbelalak kaget. Bagaimana ceritanya aku bisa berada di sini!? Bukankah aku sedang mengejar pencopet itu!?
“Kenapa aku disini!?”
Wanita itu tersenyum tipis. Membuat pipinya sedikit terangkat. “Tenanglah, ini rumahku. Kau tergeletak pingsan di jalan  tadi siang, jadi aku menolongmu.”
Seketika aku teringat dengan uang yang diambil pencopet itu. “Emm, apa anda tahu uang yang  diambil pencopet tadi!?”
Wanita itu mengerutkan dahinya. “Pencopet!? Jadi kau pingsan karena pencopet!? Tapi aku tidak tahu menaung soal hal itu. Maaf.”
Aku gelisah, takut. Bagaimana jadinya jika aku tidak mengganti biaya rawat inap Dimas!?
***
Setelah satu jam aku berada di rumah wanita itu, yang ternyata bernama Diana, aku kembali pulang ke rumah. Ibu pasti marah karena aku pulang terlambat.
“Jaka!? Kamu darimana saja!?”
Benar dugaanku. Membuka pintu saja sudah disambut olehnya. “Maaf Bu, tugas kelompoknya banyak sekali.” Sebenarnya aku tidak ingin berbohong pada Ibu, tapi apa boleh buat kalau keadaannya seperti ini.
***
Aku merenung di bawah pohon rambutan depan rumah. Uang itu… Terus menghantui pikiranku. Aku harus mencari cara lain selain bekerja di pabrik Bu Siska. Bagaimana kalau mengamen!? Kau cerdas, Jaka.
***
Aku terus menyanyi kepada pemilik mobil di hadapanku ini. Tapi si pemilik mobil tidak mau membuka kaca mobilnya. Aku beralih menuju mobil lain. Begitu seterusnya.
Aku terbelalak ketika tahu yang mengendarai mobil adalah guruku, Bu Siti. Beliau kaget melihatku mengamen seperti ini. Bu Siti menyarankan agar aku tidak melakukan hal ini lagi, lalu beliau memberi tumpangan untuk pulang kepadaku. Aku hanya menurut. Sepanjang perjalanan beliau terus menginterogasiku sepanjang perjalanan. Interogasinya terhenti ketika kami sudah sampai di depan rumah bambu kecil, rumahku.
***
“Jaka! Kamu Kenapa kamu sampai mengamen!? Apa uang saku yang Ibu berikan masih kurang!? Ibu benar-benar malu sama guru kamu tadi. Syukur dia tidak sampai menghukum kamu, karena Ibu akan memberimu hukuman.”
“Ta-tapi Bu, Jaka melakukan ini semua agar Ibu tidak usah bersusah payah karena perbuatanku. Jaka pengen Ibu bangga sama Jaka, karena Jaka bisa mempertanggungjawabkan perbuatan Jaka. Sebenarnya Jaka tidak berniat mengamen. Jaka terpaksa, karena uang untuk biaya rawat inap Dimas diambil pencopet. Uang itu bukan hasil mengamen, uang itu hasil kerja keras Jaka di pabriknya Bu Siska. Karena waktunya sudah mepet, tidak mungkin Jaka kembali bekerja, jadi Jaka bertekad untuk mengamen.”
Entah kenapa, Ibu menitikkan air mata. Aku bingung. Apa kata-kataku tadi menyakiti hatinya!? Oh Tuhan, kenapa aku terus membuat Ibuku menangis!?
“Nak, Ibu bangga sama kamu. Ibu tidak menyangka jika kamu sampai bekerja bahkan mengamen. Sebenarnya uang biaya perawatan Dimas sudah ibu ganti, Ibu ambil dari uang tabungan. Ya sudah, uang hasil kamu mengamen itu kamu buat jajan saja.”
“Benar, Bu!? Horee!!” Aku melonjak-lonjak saking senangnya. Ibu tersenyum. Kali ini aku berhasil membuat Ibu bangga. Kali ini Jaka Janji, tidak akan membuat Ibu menangis lagi.
***

Jumat, 27 November 2015

Sebuah karya untuk Hari Guru Nasional



Ajari Aku, Guru


Saat itu aku masih duduk di bangku SMP. Masih polos dan lugu. Aku sangat penurut kepada orang tuaku. Mereka selalu bilang, “Kejarlah cita-citamu setinggi langit, nak.. Jangan pernah biarkan malas memenangkan dirimu.”
Aku berusaha sebaik mungkin untuk itu. Belajar dan belajar dengan giat. Hingga suatu waktu aku bertemu dengan kelemahanku,pelajaran fisika. Fisika amat kompleks menurutku. Paduan antara hafalan dengan menghitung cukup membuat saraf neuronku bekerja dua kali lebih berat dari biasanya. Di kelasku memang ada ahli biologi, linguis Bahasa Inggris, tetapi fisikawan masih belum muncul sampai detik ini.
Guru fisika –yang sekaligus merangkap jabatan menjadi wali kelas— kami memang sangat baik. Materi yang disampaikan beliau pun dapat dicerna oleh seluruh umat. Namun, saat kami dihadapkan pada soal-soal ujian yang dibuatnya, kami hanya bisa menghela napas cemas.
Tidak ada coretan, bersih tanpa noda. Motto hidup sementara saat ujian fisika berlangsung. Aku masih ingat, waktu itu tanganku bergetar menorehkan tinta pena kepada lembar jawab. Rasa was-was menggerogoti akal pikiranku seketika. Dalam hati aku berteriak, “Ya Tuhan, lindungilah hamba-Mu ini dari segala kesalahan. Jangan sekalipun Engkau menakdirkan coretan pada kertas yang suci ini, Ya Allah.”
Perlahan aku menuliskan aksara-aksara berbau Yunani, Ohm. Mataku memicing saat melihat jam dinding sekilas. Lima menit lagi. Tangan ini semakin berkeringat saja di detik-detik akhir. Hingga aku menuliskan huruf terakhir penutup penderitaanku. Aku yakin, yang ada di pikiranku itu rumus kuat arus. Setelah aku menulisnya, entah kenapa semuanya menjadi beda potensial. Jantungku berhenti mendadak. Rasanya aku ingin sekali memakan lembar jawabku ini dengan saos tomat dilengkapi seperangkat bumbu-bumbu rumahan. Alhasil, aku membawa kabar duka dari pengumuman nilai ujian. Nilai itu akan selalu kuingat, 60.
Astaga....
Sekarang aku hanya bisa tertawa mengingat semua itu. Kenanganku, masa lalu yang manis dan pahit. Semuanya bercampur menjadi satu menciptakan percikan-percikan muatan negatif dari benda A yang kemudian berpindah ke benda C dan meninggalkan muatan positif di benda A, menyebabkan kedua benda menjadi tarik menarik karena muatan tidak sejenis yang disebut induksi listrik.
Oh, maaf. Mungkin aku sedikit terbawa suasana.
Kembali ke topik. Di tengah sengitnya persaingan global antar pelajar saat ini, aku dan seluruh teman-teman seangkatanku dituntut untuk lebih kreatif, aktif, dan komunikatif. Kami harus mampu melakukan semua aspek itu, yang mana si penulis ini saja masih belum bisa melakukannya. Kemudian aku berusaha, karena dari semua mata pelajaran yang kupelajari, hanya satu yang belum bisa terkuasai, yaitu –tetap— fisika. Berturut-turut aku gagal dan mendapat nilai jelek saat ujian. Aku kecewa pada diriku sendiri. Melihat usaha guruku yang susah payah mengajar dari satu kelas ke kelas lainnya, menggeser jam pelajaran lain dan mengajar kami, meskipun terkadang beberapa diantara kami tak mengacuhkan, beliau tetap teguh mengajar.
“Bu, maafkan saya kalau saya pernah berbuat salah dan selalu mendapat nilai jelek di mata pelajaran anda...”
“Oh, semua itu sudah berlalu. Ibu tahu nilai kalian murni, dilandasi dengan kejujuran, oleh karena itu ibu sangat bangga meskipun nilai kalian ya... Begitulah. Kejujuran tetap nomor satu, dan ibu menghargai usaha keras kalian selama ini.”
Kami tersenyum, di masa sekarang, di mana kita sudah melalui berbagai ajang pengujian diri dari Tuhan. Di sini kita berkumpul bukan sebagai guru dan murid, tetapi keluarga. Aku sangat bersyukur bisa berada di tengah mereka. Terutama kepada guru, dan wali kelasku, mereka adalah segalanya buatku.
Untuk semua guru di Indonesia, aku sudah menyiapkan beberapa isi hati yang kupersembahkan kepada kalian semua.
Saat aku bingung, tak tahu arah, ada guru yang menerangi jalanku
Di jalan yang aku tempuh, doa-doa selalu menyertai langkahku
Meski tidak mudah, yakinkan kami bahwa kami bisa melakukannya
Setiap saat, guruku, apakah kalian tahu bahwa kami akan tetap meneladani kalian hingga akhir hayat?
Teruntuk guru kami semua, sejuta ucapan terima kasih tidak akan pernah bisa membalas budi baik yang selama ini guru lakukan.
Terima kasih kepada guru fisika kami, Bu Sridijati, yang telah membimbing kami dalam ilmu fisika yang jauh lebih dalam. Sekali lagi terima kasih kepada semua guru yang telah mengajari kami dengan sepenuh hati.Selamat Hari Guru Nasional!
Oh iya, aku lupa satu hal. Nilai Ujian tengah semester fisikaku adalah 96 J.
-Fin-