Air Mata Ibu
Aku
tak berani menatap Ibu yang terlelap. Andai tadi pagi sewaktu sekolah aku lebih
sabar dan tidak selempangan, mungkin saat ini aku sudah tertidur pulas tanpa
mencemaskan hal apapun. Ku coba melirik wajah ibu sekali lagi. Damai. Satu kata
yang mewakilinya. Apa wajah damainya akan berubah ketika ia tahu bahwa aku
melakukan sesuatu yang membuatnya kecewa? Oh Tuhan, apa yang harus ku perbuat?
***
“Kau harus bertanggung jawab, Jaka. Jangan
menjadi pengecut! Perbuatanmu adalah kesalahanmu sendiri. Jangan anggap kau
pantas menjadi anak lelaki jika hal seperti ini saja membuatmu takut. Akui
kesalahanmu, meminta maaf, dan berjanjilah tidak akan mengulangi kesalahan yang
sama untuk kedua kalinya.” Jelas Nina.
Tapi,
Apakah ibu akan memaafkanku? Jika ia tahu bahwa anak semata wayangnya berkelahi
sampai menyebabkan temannya masuk rumah sakit? Belum lagi biaya rawat inap
rumah sakit yang terbilang mahal. Darimana Ibu akan mendapatkan uang sebanyak
itu?
“Nina,
semua yang kau ucapkan memang benar. Jika aku melakukannya, aku akan bangga
pada diriku sendiri, tapi Ibu? Ia akan sangat kecewa. Aku akan menjadi anak
durhaka kalau membiarkan ibuku sampai menghutang sana-sini untuk biaya rawat
inap si jangkung menyebalkan itu.”
Aku
meratapi surat resmi dari kepsek yang diberikan kemarin. Jika saja aku tidak
tersulut emosi oleh perkataan Dimas tentangku, ini semua tidak akan terjadi.
“Aku
tahu! Jika Ibumu tidak sanggup membayar biaya rawat inap, bagaimana jika kau
saja yang membayarnya?”
“Ide
bagus. Itulah jalan satu-satunya. Umm, tapi.. Bagaimana caranya agar aku bisa
mendapat uang banyak dalam sekejap?”
Nina
mendekatkan mulutnya ke telingaku, lalu berbisik. Aku mengangguk mengiyakan.
***
“Kenapa
kamu sampai berkelahi , Jaka!? Ibu kan sudah bilang, berkelahi adalah kesalahan
yang fatal. Lihat! Surat ini bisa menjadi huruf C sikap kamu di rapor! Apalagi
biaya rawat inap Dimas pasti mahal.”
“Maafkan
Jaka, Bu. Jaka janji akan bertanggung jawab mengganti biaya rawat inap Dimas.
Ibu tidak usah mencemaskan hal itu.”
“Mengganti
biaya!? Kamu menggantinya dengan apa!? Kamu masih kecil, Nak! Belum bisa cari
uang sendiri.. Lagipula kita ini orang miskin.. Mau makan saja susah, apalagi
membayar biaya rawat inap!”
Air
mata Ibu mulai bercucuran. Batinku tersayat melihatnya. Sepertinya aku
benar-benar anak durhaka. Aku memang anak tak berguna. Ayah telah tiada.
Seharusnya aku bisa mengganti penderitaan ibu dengan kebahagiaan, bukan
menambahnya.
Tenang,
Bu. Pokoknya Jaka akan mengganti biaya itu. Jaka janji.
***
Mulai
sekarang, aku akan menjadi buruh di pabrik milik teman ayah Nina. Jam kerjanya
tidak mengganggu sekolahku. Dan, gajinya cukup besar, asalkan aku bekerja
keras. Aku sendiri yang akan bertanggung jawab atas perbuatanku. Meskipun aku
masih kelas 6 SD, tapi aku yakin, aku memiliki jiwa besar seperti orang dewasa.
***
“Nak!?
Kamu sudah datang?”
Aku
tersenyum ramah kepada Bu Siska, yang mulai sekarang menjadi bosku. “Iya bu,
saya bisa mulai bekerja sekarang?”
“Ehm,
setelah ibu pikir-pikir lagi, kok aneh ya, kamu itu kan masih kecil, tapi sudah
mau bekerja, memangnya kamu kekurangan uang?”
“Tidak
kok, Bu. Saya hanya ingin bekerja untuk mempertanggungjawabkan perbuatan saya.”
“Memangnya
kamu berbuat apa, to? Sampai mau bekerja jadi buruh?”
Aku
mulai menjelaskan alasan aku bekerja. Mulai dari berkelahi, sampai tidak tega
kalau Ibu berhutang hanya karena kesalahanku.
“Oh…
Jadi begitu.. Ya sudah, sekarang kamu bisa mulai kerja.”
***
Seminggu
sudah aku bekerja di pabrik itu. Aku menghitung uang hasil jeripayahku selama
ini. Jumlahnya memang masih kurang untuk membayar biaya rawat inap Dimas, tapi
sebentar lagi pasti akan cukup.
Tiba-tiba
uang yang sedang kupegang dirampas oleh seseorang. Aku terkejut. Kukejar orang
yang mengambil uang itu. Gang-gang sempit membuat langkahku terhambat. Namun
aku tetap kukuh.
Orang
itu mulai nampak. Kupercepat langkah kakiku. Aku harus mengambil uang itu
kembali. Harus.
***
“Kau
sudah sadar, Nak!?”
Kubuka
mataku perlahan. Cahaya lampu menyilaukan mataku. Samar-samar kulihat ada wanita
di sampingku. Aku terbelalak kaget. Bagaimana ceritanya aku bisa berada di
sini!? Bukankah aku sedang mengejar pencopet itu!?
“Kenapa
aku disini!?”
Wanita
itu tersenyum tipis. Membuat pipinya sedikit terangkat. “Tenanglah, ini
rumahku. Kau tergeletak pingsan di jalan
tadi siang, jadi aku menolongmu.”
Seketika
aku teringat dengan uang yang diambil pencopet itu. “Emm, apa anda tahu uang
yang diambil pencopet tadi!?”
Wanita
itu mengerutkan dahinya. “Pencopet!? Jadi kau pingsan karena pencopet!? Tapi
aku tidak tahu menaung soal hal itu. Maaf.”
Aku
gelisah, takut. Bagaimana jadinya jika aku tidak mengganti biaya rawat inap
Dimas!?
***
Setelah
satu jam aku berada di rumah wanita itu, yang ternyata bernama Diana, aku
kembali pulang ke rumah. Ibu pasti marah karena aku pulang terlambat.
“Jaka!?
Kamu darimana saja!?”
Benar
dugaanku. Membuka pintu saja sudah disambut olehnya. “Maaf Bu, tugas
kelompoknya banyak sekali.” Sebenarnya aku tidak ingin berbohong pada Ibu, tapi
apa boleh buat kalau keadaannya seperti ini.
***
Aku
merenung di bawah pohon rambutan depan rumah. Uang itu… Terus menghantui
pikiranku. Aku harus mencari cara lain selain bekerja di pabrik Bu Siska.
Bagaimana kalau mengamen!? Kau cerdas, Jaka.
***
Aku
terus menyanyi kepada pemilik mobil di hadapanku ini. Tapi si pemilik mobil
tidak mau membuka kaca mobilnya. Aku beralih menuju mobil lain. Begitu
seterusnya.
Aku
terbelalak ketika tahu yang mengendarai mobil adalah guruku, Bu Siti. Beliau
kaget melihatku mengamen seperti ini. Bu Siti menyarankan agar aku tidak melakukan
hal ini lagi, lalu beliau memberi tumpangan untuk pulang kepadaku. Aku hanya
menurut. Sepanjang perjalanan beliau terus menginterogasiku sepanjang
perjalanan. Interogasinya terhenti ketika kami sudah sampai di depan rumah
bambu kecil, rumahku.
***
“Jaka!
Kamu Kenapa kamu sampai mengamen!? Apa uang saku yang Ibu berikan masih
kurang!? Ibu benar-benar malu sama guru kamu tadi. Syukur dia tidak sampai
menghukum kamu, karena Ibu akan memberimu hukuman.”
“Ta-tapi
Bu, Jaka melakukan ini semua agar Ibu tidak usah bersusah payah karena
perbuatanku. Jaka pengen Ibu bangga sama Jaka, karena Jaka bisa
mempertanggungjawabkan perbuatan Jaka. Sebenarnya Jaka tidak berniat mengamen.
Jaka terpaksa, karena uang untuk biaya rawat inap Dimas diambil pencopet. Uang
itu bukan hasil mengamen, uang itu hasil kerja keras Jaka di pabriknya Bu
Siska. Karena waktunya sudah mepet, tidak mungkin Jaka kembali bekerja, jadi
Jaka bertekad untuk mengamen.”
Entah
kenapa, Ibu menitikkan air mata. Aku bingung. Apa kata-kataku tadi menyakiti
hatinya!? Oh Tuhan, kenapa aku terus membuat Ibuku menangis!?
“Nak,
Ibu bangga sama kamu. Ibu tidak menyangka jika kamu sampai bekerja bahkan
mengamen. Sebenarnya uang biaya perawatan Dimas sudah ibu ganti, Ibu ambil dari
uang tabungan. Ya sudah, uang hasil kamu mengamen itu kamu buat jajan saja.”
“Benar,
Bu!? Horee!!” Aku melonjak-lonjak saking senangnya. Ibu tersenyum. Kali ini aku
berhasil membuat Ibu bangga. Kali ini Jaka Janji, tidak akan membuat Ibu
menangis lagi.
***